Erdogan Pertahankan Dominasi, Pertarungan Politik Turki Berlanjut

Foto
Calon presiden petahana, Recep Tayyip Erdogan, dan istrinya, Emine, melambaikan tangan kepada para pendukung yang berkumpul di markas Partai AKP di Ankara, Turki, Senin (15/5/2023). Hasil penghitungan suara sementara, Erdogan dan lawannya, Kemal Killicdaroglu, tidak memenuhi syarat mendapat dukungan 50 persen dan harus bertarung pada pemungutan suara putaran kedua, 28 Mei 2023. (AP PHOTO/ALI UNAL)

"Sebagian orang Turki merasa negara asing berusaha mendikte pilihan mereka dan memengaruhi arah pemilu Turki. Di bilik suara, mereka melawannya."

ANKARA | KABAR SATU — 

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersama Partai Keadilan dan Pembangunan mempertahankan dominasi di politik Turki. Meski demikian, Erdogan masih harus meneruskan pertarungan politik untuk mengamankan kursi presiden. Kubu oposisi, berdasarkan hasil pemilu pada Minggu (14/5/2023), menyebut Erdogan sudah tidak disukai mayoritas pemilih.

Dari seluruh suara sah, Erdogan mendapat 49,4 persen di pemilihan presiden (pilpres). Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) meraih 266 dari 600 kursi parlemen. Sementara Ketua Partai Republik Rakyat (CHP) Kemal Kılıçdaroğlu meraih 44,9 persen suara pilpres. Di pemilu legislatif, CHP mendapatkan 169 kursi.

Karena tidak ada satu pun capres meraih di atas 50 persen suara sah, maka pilpres putaran kedua harus digelar pada 28 Mei 2023. Erdogan dan Kılıçdaroğlu dipastikan akan mengikuti putaran kedua. Kılıçdaroğlu yakin akan memenangi pilpres putaran kedua. Berdasarkan hasil pemilu Minggu, Erdogan dinyatakan tidak disukai lebih dari separuh pemilih Turki. ”Erdogan gagal mendapatkan kepercayaan dari warga. Permintaan perubahan disuarakan lebih dari 50 persen warga,” ujarnya sebagaimana dikutip media Turki, Hurriyet.


Erdogan berpendapat sebaliknya. Berdasarkan hasil pemilihan anggota legislatif, AKP dan mitranya di koalisi Persatuan Rakyat meraih total 322 dari 600 kursi parlemen. Sementara CHP dan mitranya di koalisi Persatuan Bangsa hanya meraih 213 dari 600 kursi parlemen.

Erdogan mempertahankan basis dukungannya di pusat Anatolia. Dia juga mempertahankan sebagian dukungan di kota besar.

”Sekarang, mayoritas di parlemen (dipegang) Persatuan Rakyat. Karena itu, kita yakin pada pilihan bangsa, yang telah memberikan lebih banyak kepada Persatuan Rakyat di parlemen, akan lebih memilih kepercayaan dan kestabilan di pemilihan presiden juga,” ujarnya sebagaimana dikutip media Yeni Safak dan Hurriyet.

Ia mengatakan, pemilih yang memberi suara padanya lebih banyak 2,6 juta orang dibandingkan dengan suara untuk Kılıçdaroğlu. ”Jika bangsa kita memutuskan pilpres selesai, tidak ada masalah. Jika bangsa kita memilih pemilihan putaran kedua, mari lakukan,” kata Erdogan sebagaimana dikutip media Yeni Safak dan Hurriyet.

Analis politik Turki, Ali Carkoglu, mengatakan, Erdogan mendapat momentum. ”Erdogan mempertahankan basis dukungannya di pusat Anatolia (sebagian besar wilayah Turki di sisi Asia). Dia juga mempertahankan sebagian dukungan di kota besar,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Sementara kubu oposisi disebut tidak menempatkan calon yang tepat. Buktinya, mereka tidak bisa mendongkrak suara di daerah pemilihan yang mengambang. Sebaliknya di daerah yang diduga akan ada penurunan suara untuk AKP dan Erdogan, ternyata malah terjaga. ”Dia (Erdogan) sangat sukses di daerah terdampak gempa,” ujarnya.

Foto
Pendukung kubu oposisi Turkir di depan foto tokoh oposisi Turki Kemal Kilicdaroglu di sela kampanye pada 12 Mei 2023. Dalam pemilu presiden pada 14 Mei 2023, Kilicdaroglu menempati urutan kedua. Calon petahana, Presiden Recep Tayyip Erdogan unggul dan meraih 49,4 persen suara sah. (AFP/ADEM ALTAN)

Turki selatan dan barat dihancurkan gempa pada Februari 2023. Sebagian korban kecewa karena menilai pemerintahan Erdogan lamban menangani dampak gempa. Mereka juga kecewa karena begitu banyak bangunan rusak. Ada dugaan pembiaran oleh para pengawas sehingga banyak bangunan hancur dan menimpa ribuan orang.

Sentimen

Petinggi AKP, Yasin Aktay, menyebut, Erdogan jelas sukses dalam pemilu kali ini. Sementara kubu oposisi, seperti 21 tahun terakhir, terus mengulangi kekalahan. ”Kalaupun bisa ikut putaran kedua, kandidat dari oposisi jelas tetap kalah karena tidak mampu memenuhi klaim luar biasa sebelum pemilu,” ujarnya sebagaimana dikutip Yeni Safak.

Bagi yang benar-benar mengikuti perkembangan politik Turki, menurut Aktay, hasil pemilu kali ini tidak mengejutkan dan sesuai fakta. Sementara bagi yang hanya memantau berdasarkan pemberitaan sebagian media massa serta memantau media sosial, hasil pemilu bisa jadi dianggap mengejutkan dan mengecewakan.

Sejumlah media Amerika Serikat dan Eropa Barat memang secara terbuka mendukung Kılıçdaroğlu dan memusuhi Erdogan. Berbagai pihak menaksir, Kılıçdaroğlu akan menang dalam satu putaran. Sejumlah media juga menyebut Erdogan sebagai diktator. ”Mereka lupa, selama 21 tahun, belum pernah sekali pun Erdogan menduduki jabatan tanpa terpilih lewat pemilu,” katanya.

Aktay menyebut sejumlah media AS dan Eropa Barat lebih mirip brosur kampanye Kılıçdaroğlu dan CHP dibandingkan produk jurnalistik. ”Mereka tidak malu mengabaikan semua prinsip jurnalistik demi menjadi mesin propaganda CHP," ujarnya.

Laporan-laporan The Economist, Time, The New York Times, Der Spiegel, serta The Independent secara terbuka menunjukkan keberpihakan kepada Kılıçdaroğlu. Dalam serangkaian laporan The Economist dan Der Spiegel, bolak-balik disebut Kılıçdaroğlu sebagai alternatif terbaik Turki saat ini.

Bahkan, cuitan akun The Economist beberapa kali mengulangi unggahan untuk artikel soal keunggulan Kılıçdaroğlu dibandingkan Erdogan. Dalam ulasan pascapemilu, The Economist mempertahankan sebutan otoriter untuk Erdogan. Majalah itu juga menyebut, hasil penghitungan suara amat buruk bagi oposisi.

Untuk sebagian warga Turki, kondisi itu tidak nyaman. Sebab, mereka merasa negara asing berusaha mendikte pilihan mereka dan memengaruhi arah pemilu Turki. Padahal, sebagian orang Turki sudah puluhan tahun mengalami dipandang remeh dan rendah oleh orang Eropa Barat.

”Sekarang, mereka tiba-tiba peduli sekali kepada Turki. Kalau Erdogan menang, berarti Turki tidak demokratis. Mereka lupa, ikut pemilu sebagai petahana berarti punya beban lebih besar. Erdogan berkampanye ke seluruh penjuru Turki. Sementara mereka sibuk berkelahi dalam koalisi untuk memperebutkan jatah kekuasaan yang belum pasti didapat,” kata Aktay.

Foto
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberikan suara dalam pemilu Turki, Minggu (14/5/2023). Erdogan dan partainya, AKP, unggul dalam pemilu itu. 
(AP/UMIT BEKTAS)

AKP bolak-balik menyerang identitas Kılıçdaroğlu. Sejumlah pejabat AKP menudingnya keturunan Kurdi. Mereka juga menyoroti fakta Kılıçdaroğlu penganut Alevi, mazhab lebih dekat ke sufi dan tidak ke masjid. Penganut mazhab itu berkembang di Turki dan Suriah.

”Sejak kapan menjadi penganut Alevi adalah kejahatan di Turki? Saya tidak tertarik membawa isu agama dan identitas dalam politik,” kata Kılıçdaroğlu. (AFP/REUTERS/KOMPAS.ID)