Jimly, Yusril dan Istana Kebakaran Pemakzulan

by M Rizal Fadillah*

Jimly Asshiddiqie menyatakan heran dan bingung isu pemakzulan yang diajukan Petisi 100 itu muncul satu bulan sebelum Pemilu. Ia menyatakan aspirasi yang disampaikan melalui Menkopolhukam Mahfud MD adalah cermin dari sikap takut kalah dalam Pilpres. Sementara Yusril Ihza Mahendra mengaitkan dengan kesulitan pemakzulan berdasar Pasal 7B UUD 1945. Parahnya statemen Yusril adalah bahwa usul pemakzulan itu inkonstitusional. 

Demikian juga dengan Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana ikut menyoroti kedatangan Petisi 100 ke Kantor Menkopolhukam baru-baru ini. Menurutnya pertemuan itu bertendensi hanya untuk meningkatkan elektabilitas Paslon Capres/Cawapres tertentu. 

Pandangan Jimly Ashshiddiquie, Yusril Ihza Mahendra dan tudingan Istana seperti ini di samping menggambarkan kepanikan dan ketakutan juga dinilai ngawur. Tidak faham akan konteks dan kronologis. 
Hal ini sekaligus menjadi koreksi bagi lembaga DPR dan MPR. 

Perlu difahami bahwa penyampaikan aspirasi kepada Menkopolhukam merupakan bentuk kepedulian kelompok Petisi 100 terhadap indikasi terjadinya kecurangan Pilpres yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi. Jokowi terang-terangan bersikap memihak dan tidak netral. Ia tidak menghormati demokrasi dan membahayakan bangsa dan negara. 

Kejahatan politik ini harus dicegah dan diantisipasi serius. Pemilu tanpa Jokowi menjadi opsi rasional. Konsekuensinya adalah Jokowi harus dimakzulkan. Mengemuka hangat saat mendekati Pilpres sebagai akibat penghianatan yang semakin nyata Jokowi atas Pemilu yang semestinya jujur, adil dan bersih. 

Ngawurnya Jimly, Yusril, dan Istana berdasarkan fakta sebagai berikut : 

Pertama, isu pemakzulan bukan baru sebulan menjelang Pemilu akan tetapi Petisi 100 telah mengajukan penyampaian sejak 8 (delapan) bulan yang lalu tepatnya 20 Mei 2023 dan penerimaan seorang anggota DPD RI pada 20 Juli 2023. 

Kedua, jauh sebelum diterima Menkopolhukam surat permohonan untuk bertemu dengan Pimpinan DPR dan MPR RI telah diajukan pada tanggal 20 Mei 2023. Hingga kini sama sekali tidak mendapat tanggapan. DPR/MPR dinilai "buta" dan "tuli" atas aspirasi rakyat. 

Ketiga, konten Petisi berujung pada dua tuntutan yaitu pemakzulan Jokowi dan pemulihan kedaulatan rakyat. Petisi 100 mengajukan 23 (dua puluh tiga) alasan politik dan hukum agar memenuhi ketentuan Pasal 7A UUD 1945.

Keempat, keliru jika usulan pemakzulan Presiden Jokowi itu dianggap inkonstitusional. Alasan dengan berdalih Pasal 7B tidak relevan karena hal itu menyangkut mekanisme. Usulan Petisi 100 memiliki argumen hukum yang sangat kuat. Memenuhi ketentuan Pasal 7A sebagai bahan bagi mekanisme Pasal 7B UUD 1945. 

Kelima, usul pemakzulan Petisi 100 tidak bertendensi pada peningkatan elektabilitas Paslon siapapun. Bahwa ide dan narasi Petisi 100 itu memberi manfaat politik bagi siapapun menjadi persoalan lain. Tendensi aspirasi Petisi 100 adalah penyelamatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemulihan demokrasi akibat penghianatan kaum oligarki. 

Penyampaian aspirasi kepada Menkopolhukam di samping karena adanya Desk Pengaduan Pelanggaran Pemilu, juga sebagai bukti bahwa apa yang dikhawatirkan dan menjadi keprihatinan Petisi 100 atas "cawe-cawe" jokowi ternyata semakin faktual dan brutal. 

"Pemilu tanpa Jokowi" menegaskan bahwa Petisi 100 konsisten pada penyelenggaraan Pemilu. Hanya fenomena yang terindikasi adalah bahwa kekacauan dan kekisruhan Pemilu 2024 ini disebabkan oleh sikap politik Jokowi sendiri. 

Jimly, Yusril dan Ari Dwipayana dengan membela keberadaan Jokowi sesungguhnya telah melibatkan diri atau ikut serta dalam proses kejahatan politik yang telah dilakukan oleh Jokowi. Jimly, Yusril dan Istana kebakaran ! 

Hal mendesak dan menjadi syarat mutlak untuk perbaikan demokrasi di Indonesia saat ini adalah "Pemilu tanpa Jokowi". 

Makzulkan Jokowi segera. Perubahan politik itu cepat, tuan tuan ! 

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 15 Januari 2024