by M Rizal Fadillah*
KETIKA seruan moral, sosial dan politik sudah tidak lagi didengar baik oleh Presiden Jokowi ataupun oleh sebagian masyarakat apatis, maka perlu penguatan hukum keagamaan untuk mengingatkan efek dosa dan pahala dari suatu sikap. Aspek imanen penting untuk mengembalikan pemahaman bahwa negara ini dibangun "berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa" dan kontribusi perjuangan dari para santri dan ulama.
Jokowi dikenal kontroversial, tidak ajeg dan banyak bohong. Bahkan bacaan atasnya adalah sebaliknya. Bila ia menyebut tidak impor, maka fakta kemudiannya impor besar. Banyak investor datang artinya investor tidak ada, bahkan yang ada kabur. Tidak menggunakan APBN, esok APBN tergerus. ASN harus netral, maka saat itu juga ia mengarahkan aparat di Istana. Anak-anak tak suka politik tetapi merekayasa agar anak lolos MK.
Memerintah dengan "membunuh" anak bangsa sendiri. Petugas Pemilu, pengunjuk rasa dan 6 syuhada. PKI bukan pelaku kejahatan yang harus diwaspadai melainkan disantuni sebagai korban. Ketum partai disandera. Baliho diri dan dukungan dipasang dimana-mana, baliho "lawan" diturunkan. China menjadi andalan dan sahabat penggerus kedaulatan.
Kecurangan masa depan sudah terindikasi, terprediksi, bahkan mendekati pasti.
Jangan harap Pemilu khususnya Pilpres akan berjalan jujur dan adil. Pengalaman 2019 menjadi sebuah pelajaran. Rezim Jokowi dibangun atas dasar kelicikan yang berakibat pada suburnya korupsi dan berkuasanya oligarki. Demokrasi dikencingi. Oposisi hanya mampu menari-nari dalam mengkritisi. Tidak berpengaruh pada rezim yang memang buta tuli.
Oleh karenanya tidak bisa tidak, demi sehatnya demokrasi serta Pilpres yang adil dan jujur maka Jokowi harus segera turun atau diturunkan. Tepat untuk slogan "Pemilu tanpa Jokowi". Wajib untuk memakzulkan Jokowi dengan jaminan Konstitusi. Semua program dan canangan kebaikan termasuk kembali ke UUD 45 asli hanya dapat direalisasikan pasca makzul Jokowi.
Wajib dalam konteks agama adalah dikerjakan berpahala dan ditinggalkan berdosa. Ketika Pemilu khususnya Pilpres dapat berjalan dengan jujur dan adil dengan syarat tidak ada Jokowi, maka pemakzulan Jokowi menjadi wajib. Ini didasarkan pada kaidah ushul fiqh "maa laa yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib" (Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa dipenuhi suatu syarat, maka syarat itu hukumnya menjadi wajib).
Selama Jokowi berkuasa, korupsi merajalela bahkan pada akhir masa jabatan nepotisme menjadi terang benderang. Pantas jika disebut sebagai Rezim Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Korupsi dari atas hingga bawah. Menteri yang terlibat korupsi mencapai rekor di bawah koordinasi Jokowi. KKN sulit diberantas apalagi dengan KPK yang juga kotor. Ketua KPK kini dalam pemeriksaan Bareskrim Polri.
Rakyat harus berbuat. Umat tidak bisa diam dan membiarkan kemungkaran yang sudah sedemikian dahsyat. Ketika pembersihan harus dengan kata lawan, maka kekuatan mesti tergalang. Ada semangat jihad di dalamnya. KKN adalah perusak dan penjajah. Penjajahan harus dilawan.
Ulama atau institusi keagamaan dituntut untuk maju selangkah atau beberapa langkah. Bergerak menuju ke medan juang. Penting ada seruan atau Fatwa Jihad untuk melawan dan memerangi KKN. KKN adalah musuh rakyat, musuh bangsa dan musuh agama. Penjajah perusak ini harus segera dibasmi. Rezim yang sengaja atau diam-diam memproteksi akan menjadi lawan dan musuh bersama.
Rakyat bersatu tidak bisa dikalahkan. Rakyat adalah kekuatan. People power menjadi keniscayaan. "Wajib makzulkan Jokowi" dan gaungkan "Fatwa Jihad" melawan Rezim KKN. Merdekakan negeri.
"Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 20 Nopember 2023