“Fiat justitia ruam caelum”–tegakan keadilan meski langit akan runtuh. Ini memotivasi siapapun agar berjuang terus untuk menegakkan keadilan. Hukum dan keadilan harus sejalan karena, hukum tanpa keadilan akan menjadi narasi mati dan cacat fungsi.
Ingatlah pada teori etis dan utilitis dimana etika harus mendasari hukum dan hukum harus berdaya guna bagi rasa keadilan publik. Membuang etika dari hukum merupakan kesalahan sedangkan hukum tanpa keadilan adalah kezaliman.
Keberadaan lembaga pengadilan agar hukum sebagai sarana dapat menjadi bermakna. Qur’an mengingatkan “wa idza hakamtum bainnas antahkumuu bil ‘adl”–jika engkau menjalankan hukum, maka tegakan dengan adil.
Kalimat sebelumnya “Innallaha ya’murukum an tuadduul amaanaati ilaa ahlihaa”–Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk jujur dan menunaikan amanat kepada yang berhak.
Ayat ini menegaskan akan makna bahwa amanat, jujur dan adil merupakan paket dari kebenaran. Sebaliknya hukum tanpa kejujuran dan keadilan hanya menjadi alat atau keterlibatan dari sebuah kecurangan dan kejahatan.
Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja harus bersandar pada Konsitusi. Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Luber, jujur dan adil adalah prinsip. MK sebagai pengawal Konstitusi harus berbasis pada pengawalan ini dalam proses pemeriksaan di muka persidangan.
Ketika Pemilu atau Pilpres terjadi peristiwa ketidakjujuran dan ketidakadilan maka MK harus bertindak. Memberi sanksi tegas atas penyimpangan tersebut demi marwah Konstitusi. Bukan berkelit di aturan beku “MK hanya berwenang memeriksa perselisihan angka”. Jika sesempit itu pandangannya, maka MK adalah pecundang bahkan pengkhianat dari Konstitusi. Lalu ingin disebut pengawal Konstitusi ? Preet…!
Ada dua kemungkinan kualitas Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan kebenaran yaitu :
Pertama, Law without Justice. Jika seperti ini maka MK adalah budak hukum, bahkan hanya menjadi terompet Undang-Undang. MK yang dalam proses peradilan melakukan pemeriksaan seksama baik penyimpangan Bansos, Sirekap maupun Gibran berakhir dengan dalih kewenangan hukum. Berwenang hanya menghitung angka perolehan. Putusan demikian akan dinilai banci, inkonsisten dan pengecut. MK pasti dikutuk “7 turunan”.
Kedua, Law and Justice. Inilah idealnya bahwa hukum dan keadilan itu satu. MK adalah lembaga Peradilan, karenanya harus menegakkan keadilan. Hukum hanya sebagai dasar tapi bangunannya adalah keadilan. Semestinya diskualifikasi Prabowo Gibran karena pasangan ini diproduk dari ketidakadilan atau kezaliman. Hukum kewenangan terbatas MK harus diinterpretasi luas. MK bukan terompet undang-undang tetapi penegak keadilan.
MK dan rakyat Indonesia harus terus berjuang menegakkan keadilan dengan gagah berani. Bertanggung jawab kepada Konstitusi, hati nurani dan ibu pertiwi. Tentu semua dilihat dan didengar Ilahi. Ada sanksi di dunia dan diakherat nanti. Hukum dan keadilan harus bersatu padu.
Jika hukum dan keadilan berbenturan maka pilihan sehat adalah keadilan yang mesti didahulukan. Hukum harus dikoreksi dan dibenahi. Bila perlu simpan dulu di tepi. Mungkin ada yang salah pada hukum. Hukum sering dibuat hanya bersandar pada kepentingan pribadi atau kroni. Kepentingan sesaat yang sesat dan menyesatkan.
Hakim MK tentu pernah membaca atau mendengar pandangan seorang Hakim yang berani dan patut diteladani yaitu Bismar Siregar. Menurutnya “apabila untuk menegakkan keadilan harus mengorbankan kepastian hukum, maka aku akan korbankan hukum itu”.
Wahai Hakim-Hakim MK, selamat menjadi penegak keadilan, bukan menjadi pembela kepentingan dengan berdalih pada hukum. Terkutuklah jika demikian.
Selamat menjadi Hakim-Hakim terkutuk.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 15 April 2024