MASIH ADAKAH TEMPAT DAN KESEMPATAN UNTUK KITA "MEMBINA CINTA" KETIKA PILKADA BERAKHIR?

Oleh : T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si Associate Profesor
(Akademisi dan Pengamat Politik, USK, Banda Aceh)

SAUDARAKU, Se-agama, Se-bangsa dan Se-tanah Air. Lihat dan perhatikanlah hari-hari ini, munculnya sejumlah Group WhatsApp, Instagram, Facebook, ruang, kesempatan, tempat sebagai sosial media untuk bertemu dan berkumpulnya para Calon, Kandidat, Pendukung dan Timsesnya untuk memperkenalkan dan mempromosikan jagoannya agar dapat memenangkan "permainan" dalam Pilkada Aceh 2024. 

Ada Timses yang sibuk dengan postingan hasil polling, foto dan video promosi tentang kehebatan Calonnya dan dengan berani mengunggulkan calonnya dan pasti menang, bahkan ada juga yang menyindir, seakan Kandidat lainnya tak berkualitas, sehingga mereka merasa sudah berada di "atas angin" dan merasa sebagai pemenang ... Ingat politik itu serba dinamis dan tak pasti. Ada aksioma dalam politik : "sesuatu yang pasti, berada dalam keadaan tidak pasti, pasti tidak pasti." 

Hhhmmm ... padahal kita semua tahu, permainan belum dimulai dan bahkan kita juga belum tahu siapa kawan dan siapa pula lawan. Jika begitu, mengapa kita harus sibuk dan ribut untuk hal-hal yang belum jelas arahnya? Ya, memang begitulah jika kita masih "belajar" untuk berdemokrasi. Mestinya sebagai "pembelajar" kita harus lebih santun dan beradab dalam "berargumen," sehingga tidak melahirkan "sentimen" di antara kita. Jika kita tidak sabar dan bersikap dewasa, maka budaya saling menyerang antar pendukung dan keluar group terus berlanjut. Untuk itu, mari kita saling menghargai agar persahabatan sesama kita tak berakhir karena berbeda dukungan.

Saudaraku, ketahuilah bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) itu hanyalah sebuah kompetisi atau perlombaan. Dalam perlombaan sudah pasti ada yang kalah dan ada pula yang menang. Yang menang akan tampil dengan rasa bahagia, dan yang kalah akan tersingkir dengan hati yang terluka. Tapi meskipun tersingkir yang kalah tentu saja harus bisa mempersiapkan diri secara lebih baik dan bijak untuk dapat mengikuti lomba lagi pada kompetisi-kompetisi berikutnya. Jangan menyerah... 

Begitulah seharusnya kita bersikap dari proses berjalannya sebuah kompetisi yang indah dan bermartabat. Kompetisi itu berbeda dengan "perang" yang merupakan pertarungan hidup atau mati, saling menghancurkan dan saling melenyapkan dengan semangat permusuhan. Na’uzubillahi Min Zhalik.

Dalam perang berlaku hukum menyerang atau diserang, membunuh atau dibunuh. Kalah dalam perang berarti kehancuran, tak ada kesempatan untuk mengulang, karena tak ada perang yang dijalankan secara periodik. Karena tingginya risiko dalam perang, maka diperlukan ketegasan sikap terhadap lawan dan kawan. Meski perang dan kompetisi sama-sama memiliki semangat untuk menang dan mengalahkan, namun dalam sebuah kompetisi yang beradab tidak diperbolehkan dan diharamkan menyakiti dan melukai apalagi harus menistakan pihak lain.

Lawan dalam kompetisi bukanlah "musuh" yang harus dihancurkan, akan tetapi mitra untuk mengasah kemampuan dalam meningkatkan prestasi dan karya nyata untuk bangsa dan Negara. Karena Pilkada adalah kompetisi, dan bukan perang, maka tidak layak kiranya menerapkan strategi dan hukum perang. Tidak selayaknya menempatkan lawan politik sebagai musuh yang harus dihancurkan.

Sebaliknyan, lawan politik adalah mitra untuk beradu karya, kerja dan prestasi untuk menjadi yang terbaik. Karena pemilu adalah kompetisi maka kalah menang adalah hal biasa. Menang bukan berarti memperoleh segalanya, dan kalah pun bukan berarti kita kehilangan semuanya.

Oleh karenanya, sangat tidak layak mempertaruhkan segalanya demi kemenangan dalam suatu kompetisi yang dijalani setiap periode dan masa. Apalagi sampai mengorbankan persaudaraan, persatuan, persahabatan dan kepentingan lain yang lebih besar. Karena pemilu adalah kompetisi maka selayaknya dinikmati dengan suka cita dan gembira sebagaimana menikmati sebuah pertandingan olah raga atau festival seni lainnya.

Para suppoter boleh saja memihak dan memberikan dukungan pada para pemain idolanya. Tapi tak perlu fanatik yang berlebihan, sehingga mengangap pihak lain sebagai lawan yang harus dihancurkan atau bahkan tak dianggap.

Sikap fanatik berlebihan seperti ini bisa menghilangkan kebahagiaan dalam menikmati suatu pertandingan, bahkan bisa merusak jalan pertandingan yang sedang atau akan berlangsung. Camkanlah. Karena Pilkada adalah kompetisi maka selesai pertandingan semua akan kembali pada sedia kala. Yang menang, dan yang kalah serta masing-masing pendukung akan terus menjalankan kehidupannya lagi sebagaimana biasa.

Oleh karena itu, ada baiknya tidaklah perlu untuk bersikap dan bertindak berlebihan dalam menyikapi pertandingan. Mari kita sisakan ruang batin yang lapang tempat kita kembali membina cinta dan kasih sayang pasca kompetisi nanti... Jika semua dipertaruhkan dalam kompetisi, sehingga tidak tersisa ruang batin untuk kembali karena tersekat oleh dendam dan kebencian, maka akan sulit melakukan integrasi dan rekonsiliasi atau perdamaian batin.

Dan itu artinya kita telah kehilangan kebahagiaan dan keceriaan untuk membangun sebuah cinta dan cita dalam hidup ini. Agar bangsa ini tidak kehilangan kreativitas dan akal sehat, tetap riang dan bahagia dalam mensikapi pemilu, maka sebaiknya mari kita semua sebagai anak negeri untuk menganggap pemilu hanya sebagai kompetisi atau festival yang perlu dinikmati, bukan seperti perang yang mengobarkan permusuhah dan kebencian.

Karena Pilkada itu memang bukanlah perang dan bukan pula sebuah pertempuran untuk menguasai dan berkuasa. Namun Jika ada Mau Berkuasa, silakan, asalkan tidak menzahalimi dan menyakiti hati orang lain. Semoga bangsa ini semakin bijak, dewasa dan beradab dalam berkontestasi. 


Banda Aceh, 22 Mei 2024.