Selamat Hari Kartini 21 April 2025
Oleh :
TM. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Professor, pada Sekolah Pascasarjana, USK, Banda Aceh
-------------
KABAR SATU |“Wanita dijajah pria sejak dulu,” begitu sebaris syair lagu ciptaan Ismail Marzuki berjudul “Sabda Alam” yang dinyanyikan Rien Djamain. Syair lagu ini seolah menjustifikasi, menjadi dalih lebih tepatnya, bahwa di negeri ini perempuan belum sepenuhnya merdeka, seperti yang dicita-citakan Raden Ajeng Kartini. Benarkah demikian?
Nasib wanita memang seperti tidak pernah habis diperbincangkan sepanjang zaman. Terutama pada saat perayaan hari Kartini. Emansipasi perempuan yang dicita-citakan Kartini adalah kesamaan derajat, martabat perempuan dengan laki-laki agar tidak selalu hanya menjadi objek seksual laki-laki.
Cita-cita yang dimaknai oleh kaum feminis sebagai kesetaraan gender. Pemaknaan ini yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan teologi feminis yang berjuang diterapkannya kesetaraan gender yang equal.
Sebenarnya, gerakan teologi feminis adalah gerakan yang tidak konsisten, sering berubah-ubah. Saat ini, gerakan ini mulai ‘merambah’ ke hal-hal yang sudah mapan dan memiliki ‘pakem’ sunatullah (kodrati).
Misalnya, menuntut agar wanita tidak dianggap lemah (selalu dilindungi), ngotot menghapus lembaga perkawinan, ngeyel minta disahkan pernikahan sejenis, dibebaskan dari ‘beban’ ngurus anak, bahkan menuntut dapat menjadi imam shalat di masjid. Wooowww…
Di tahun 1997, Nursyahbani Katjasungkana, saat itu menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia, pernah memprotes keras UU No.25/1997 Pasal 98c, yang melarang perempuan bekerja malam hari. Menurutnya, peraturan tersebut melecehkan kaum (buruh) perempuan.
Nursyahbani berpendapat, UU tersebut seperti ‘mitos’ abad 19, dimana laki-laki yang selalu punya ‘kewajiban’ melindungi kaum perempuan (Kompas, “Diskriminatif, Larangan Buruh Perempuan Bekerja Malam Hari” 17 Oktober 1997).
Dalam sebuah wawancara TV pada hari Kartini 21 April 1998, Anita Rahman dari Pusat Studi Wanita Universitas Indonesia menginginkan agar para pria juga diemansipasi. Emansipasi ini sebagai upaya agar laki-laki dapat melepaskan sifat selalu ingin melindungi perempuan.
Di tempat lain, sewaktu Olaf Palme menjabat Perdana Menteri Swedia, dia menyampaikan: “Apabila ada orang yang mengatakan bahwa wanita dan pria harus mempunyai peran yang berbeda, orang tersebut perlu dianggap sebagai makhluk pada zaman batu”.
Sejak saat itu, di Swedia, perempuan yang mempunyai anak dibebaskan dari kewajiban ‘mengasuh’ anak sehingga memungkinkan bekerja penuh atau sekolah tanpa mendapat ‘gangguan’. Pria tidak lagi dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga, dan perempuan hanya bertanggung jawab ngurus anak. Semua harus ditanggung bersama, sama rata sama rasa.
Slogan-slogan feminis “Terbebaslah kaum perempuan dari hak mengasuh anak” ramai bermunculan dan menjadi terkenal. Sementara itu laki-laki juga tidak harus menggantikan peran istri mengasuh anak dan mengurusi rumah tangga. Pemerintah pun turun tangan dengan mengadakan program penitipan anak besar-besaran.
Lantas, siapakah yang mengurus anak-anak yang dititipkan di Baby day care center tersebut? Apakah segerombolan ‘banci-banci’? Ternyata bukan. Yang ngurus ya kaum perempuan juga.
Di Amerika Serikat, berkat keberhasilan kaum feminis menggolkan UU ‘no fault divorce law’, angka perceraian di New York mencapai 70 persen. Awalnya, UU ini diharapkan dapat membebaskan para perempuan dari penjara perkawinan.Tetapi dalam praktiknya justru membuat semua laki-laki di sana berpeluang menjadi ‘hidung belang’.
Oleh karena itu,pada Agustus 1997, negara bagian Lousiana mengganti UU tersebut dengan UU baru yang disebut ‘covenant marriage’, biar kaum lelaki tidak lagi bisa seenaknya ‘njajah deso milangkori’, ‘mengkonsumsi’ kaum perempuan.
Sebenarnya, kalau kita membaca surat-surat Kartini dalam bukunya, kita akan tahu bahwa sejarah Kartini adalah sejarah pengembaraan transendental perempuan yang suka ‘membaca’, ‘menulis’, dan perempuan yang memiliki sense of art.
Emansipasi yang dicita-citakan Kartini adalah kesamaan martabat perempuan dengan laki-laki, dalam hal pendidikan…
Kartini berpendapat bahwa perempuan (Ibu)-lah yang berperan dalam membuka informasi, khasanah ilmu pengetahuan, seni, budaya bagi anak-anaknya, bagi keluarga dan bagi rakyat. Dalam agama yang saya anut (Islam), dijelaskan bahwa Ibu (perempuan) adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya.
Selamat dan Sukses Untuk Hari Kartini indonesia. Semoga kaum perempuan di Indonesia mau dan mampu meneladani Kartini dalam hal intelektualitas dan cara berpikir kritisnya.
Bukan hanya meniru kebaya dan sanggulnya di tiap tanggal 21 April. Karena, Kartini bukanlah model atau peragawati. Semoga Wanita Indonesia Kelak Akan Melahirkan Insan-insan Yang Bermartabat. Insya Allah, Amin3x, Yaa Rabbal Alamin.
Bumi Sultan Iskandar Muda, Di Pagi Yang Indah, 21 April 2025.